Sunday, December 25

Feliz Navidad!

Selamat Natal kawan-kawan sekalian bagi yang merayakan :)
Natal bagi saya, selalu memiliki arti yang lebih dibandingkan hari-hari lain. Bahkan kata orang, natal itu "the most beautiful time of the year!" Bagaimana menurut anda, kawan?

Anda boleh saja merasa hari natal tidaklah lebih dari hari-hari biasa lainnya. Apa bedanya? "toh itu hanya 1 dari 365 hari lain?" Ya, itu hak anda. Namun bila anda berpikiran seperti itu, mungkin saya berusaha memperluas cara pandang anda dan menurut saya momentum natal seperti ini sangat disayangkan bila dilewatkan sama seperti hari-hari biasa.

Pertama-tama, anda tak dapat memungkiri, sewaktu anda kecil dahulu, natal adalah tanggal yang paling anda tunggu-tunggu. Kenapa? Ya! Si pria berjanggut berpakaian merah itu akan tiba di rumah anda dan membawakan anda hadiah. Benar bukan? Masih jelas di benak saya, pengalaman saya sewaktu kecil. Saya bukanlah anak dari keluarga berada, namun keluarga saya berpenghasilan cukup untuk kehidupan sehari-hari. Walaupun tidak ada pohon natal yang megah dan bersinar, tidak ada topi sinterklas yang pasti kita suka, tidak ada kado-kado yang bergelimpangan, saya tetap menikmati suasana natal. Mengapa? Natal adalah suatu hari raya yang hanya diperingati sehari setiap tahunnya memperingati kebangkitan Tuhan Yesus. Tulisan saya tidak bermaksud menjurus ke dalam permasalahan agama. Namun kelahiran orang itu tentu membawa pengharapan yang baru dalam diri setiap insan. Sama seperti seorang anak kecil yang berharap santa akan datang dan memberikan sekarung permen yang ia suka. Berharap itu gratis, men!

Permasalahan di sini adalah apakah kita masih terus berharap dan bermimpi saat kita dewasa?Masih adakah harapan-harapan kecil dalam diri kita setiap natal seperti yang kita harapkan sewaktu dulu? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Kesibukan kita sehari-hari telah membuat tak ada lagi waktu untuk berharap. Bagi mereka yang tidak lagi berharap pada hal-hal yang sedikit mustahil, atau realistic, sebutan yang mereka berikan pada diri mereka sendiri, hidup bukanlah soal pengharapan, tapi soal usaha apa yang akan kita lakukan untuk memperoleh sesuatu. Bila sesuatu itu tak mungkin kita peroleh, mungkin para realistis itu akan berhenti berusaha.

Pilihan ada di tangan kita, menjadi seorang yang realistis atau menjadi seorang yang penuh harapan. Saya memilih yang kedua. Karena dengan berharap, kita tahu apa tujuan kita dan apa yang ingin kita peroleh. Apakah di masa kehidupan yang serba cepat dan serba instan ini, sudah tak ada lagi waktu untuk mengharapkan sedikit permohonan-permohonan kecil? Kemana karakter masa lalu anda yang tak pernah berhenti berharap, berharap sesuatu yang besar, tanpa peduli apakah akan terpenuhi atau tidak? Kita, orang-orang dewasa, sudah tak lagi berani berangan-angan yang tinggi. Kita terlalu takut jatuh karena kita terlalu banyak berpikir, menganalisa sesuatu yang padahal belum pasti.

Waduh, sebenarnya awalnya saya ingin membahas tentang makna natal di tanggal 25 Desember ini. Namun sepertinya otak saya mengalir ke muara yang salah. Semoga tulisan ini memotivasi anda, tak ada salahnya berharap! Merry Christmas!

Nostalgia

sshhh sshhh sshh

dari tepian pantai nun jauh disana

ku duduk terdiam beralaskan pasir

seorang diri. tanpa dirinya.


pikiranku melayang pada 555 hari yang lalu

di tempat yang sama pada hari yang sama

kita mengucap janji suci itu

iringan deburan ombak yang tak kunjung tenang

menjadi lambang cinta kita yang tak kunjung sirna


siang hari di kala itu, berjalan menyusuri pantai

berdua, ya hanya berdua, aku dan kamu

jalan setapak kecil di pesisir itu

menjadi simbol perjalanan cinta kita

yang akan kita hadapi bersama

Matahari sampai iri melihat cinta kita


Senja di kala itu, sang surya mulai unjuk gigi

menunjukkan keindahan yang luar biasa

yang menakjubkan beribu orang

terbelah oleh cakrawala kemerahan

menghilang dari pandangan mata

Sayangnya, tetap tak seindah senyuman yang muncul dari wajah mungilnya


Malam di kala itu, duduk berdua di atas batu karang

memandang ke langit nan gelap

yang diwarnai oleh bintang-bintang kecil

Terdiam seribu bahasa, tanpa sepatah kata

Menikmati indahnya waktu berdua


Berbekal segenap keberanian,

Kunyatakan hasrat dalam hati ini

Kuingin selalu denganmu

Berjalan menghadapi hidup yang tak mudah, berdua



Senyuman pun muncul di wajahnya

tanda cinta yang terbalas

Senang sedih takut gembira jadi satu

Karena rintangan di depan tak akan mudah

Namun janji telah terucap,

Tuk terus ada di sisi, hanya karena cinta.

oh indahnya nostalgia

Monday, December 12

Mondar-mandir

Salam hangat dan sejahtera, saat saya mengunjungi blog saya, saya tersentil oleh pertanyaan dari salah seorang pengunjung blog ini. "Apa tujuan hidup saya?" Pertanyaan yang sederhana sekali namun menyimpan sejuta arti dan sejuta jawaban...

Pernahkah anda bertanya pada diri anda sendiri, apakah tujuan hidup anda? Sudah terlalu banyak orang yang sibuk karena rutinitasnya sehingga mereka sudah sama sekali tidak memikirkan martabatnya sebagai manusia dan tujuan hidupnya. Orang pertama mengatakan, "Tentu saja mencari kekayaan dan harta sebanyak-banyaknya." Orang kedua berkata, "Kita hidup untuk mengungkap miliaran rahasia semesta yang masih tersembunyi lewat ilmu pengetahuan yang tak terbatas." Sementara orang naif berkata, "Kebahagiaan adalah tujuan hidup kita. Mencari kebahagiaan." Berada di kelompok manakah anda?

Menggunakan kacamata realis, jawaban orang pertama dan orang kedua adalah jawaban yang paling tepat untuk menjawab tujuan hidup kita. Namun saya rasa, di setiap hati kecil manusia, pasti selalu memiliki hasrat untuk memperoleh kebahagiaan seperti kata orang naif itu. Pernyataan ini menggelitik bagi saya. "Kebahagiaan", apa arti kebahagiaan? Bagaimana cara kita memperoleh kebahagiaan? Apakah yang akan kita lakukan bila kita sudah bahagia? Nurani saya kembali bergejolak lewat pertanyaan-pertanyaan itu.

Bahagia. Bukan sesuatu yang diragukan bahwa semua orang mencari kebahagiaan. Kebahagiaan bersifat universal, berlaku untuk semua orang. Tidak peduli putih, hitam, kuning, keriting, cerdas, bodoh, kaya dan miskin. Tidak ada seorang pun yang tidak ingin merasa bahagia. Permasalahannya muncul di sini, bagaimana interpretasi kebahagiaan menurut anda?

Alkisah, seorang pemuda yang berasal dari desa pergi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Ia sudah muak dengan kehidupan yang biasa-biasa saja di desa. Ia ingin maju dan menjadi orang kaya di kota, maka pergilah dia ke kota. Kehidupan di kota tidak berjalan sesuai dengan pemahamannya. Persaingan di mana-mana, tidak pandang teman, kawan atau bahkan saudara, jika sudah berkaitan dengan uang, semua menjadi lawan. Jatuh bangun ia bekerja mengumpulkan lembar demi lembar uang untuk mengisi pundi-pundinya, akhirnya ia mempunyai modal yang cukup untuk membuka sebuah usaha dan menjadi pedagang. Ia senang. Saat itu. Itukah kebahagiaan yang dicari? "Belum!", kata pemuda itu. Maka ia tak henti-hentinya dengan tekun dan semangat, hari demi hari ia bekerja tanpa kenal lelah, tidak jarang ia harus menyampaikan selamat tinggal pada jam tidurnya karena ia harus menunggu barang kiriman yang datang, tidak jarang pula ia menanggung rugi karena dagangganya tidak laku, namun ia tak menyerah dan terus menumpuk harta.

Akhirnya sampailah ia pada sebuah titik puncak. Ia berhasil membeli rumah dari uang jerih payahnya sendiri setelah sekian tahun bersusah payah membayar kontrakan rumah. Ia pun telah memiliki mobil pribadi karena penjualannya dalam waktu dekat sangatlah berhasil. Masalah uang, ia tidak perlu ambil pusing lagi sekarang. Apakah kebahagiaan sudah diperoleh? "Tentu saja aku bahagia saat ini! Bagaimana tidak, aku sudah sukses dan berhasil di kota." begitulah kurang lebih hati dari pemuda itu berbicara. Ia sudah merasakan kebahagiaan itu, tapi apakah ia berhenti pada titik itu? Tentu saja tidak. Ia terus dan terus menumpuk pundi-pundi hartanya.

Namun tibalah hari dimana semua itu berakhir. Malam itu, seorang pesaing dagang dari pemuda itu yang sudah lama iri kepadanya mempunyai niat jahat. Di saat pemuda itu terlelap bergelimangan harta, rumahnya dibakar. Kebakaran yang bukan main-main timbul. Hampir 6 branwir harus mengatasi kebakaran itu. Semuanya lenyap, ludes, dimakan api. Pemuda itu hanya dapat menangis setelah bersusah payah keluar dari lalapan api. Semua hasil keringatnya hilang. Tanpa bekas. Apakah itu, yang juga disebut kebahagiaan? "Ya enggak lah, wong dia uda ga punya apa-apa gimana mau bahagia?"

Dari pertanyaan itu, apakah kebahagiaan harus diukur dengna materi? Jika ya, apakah dengan mencari harta sebanyak-banyakanya, kita dapat bahagia selamanya? Jika anda berkata, "Roda kehidupan selalu berputar, kadang manusia ada di atas, kadang manusia ada di bawah." Kalau begitu, untuk apa kita bersusah-susah bekerja keras, toh nanti kita juga akan berada di atas? Dan jikalau roda kehidupan terus berputar, pernahkah anda merasa jenuh akan hidup yang terasa begitu monoton, hampa, dan hanya seperti siklus yang terus berputar, pada suatu saat kita akan berdiri pada titik dimana kita memulai semuanya. Saat kita meninggal, kita hanya akan menjadi debu tanpa membawa sehelai benang pun. Sama seperti saat kita dilahirkan. Telanjang. Ya, itulah martabat manusia yang sebenarnya.

Tulisan saya kali ini awalnya berniat untuk menemukan hasil pergolakan batin saya terhadap tujuan hidup saya di dunia. Namun sepertinya saya gagal, dan pertanyaan demi pertanyaanpun terus mengalir deras di otak saya tanpa dapat saya bendung, sepertinya saya hanya mondar-mandir di dunia ini. Bagaimana dengan anda?

Friday, December 9

Sekilas tentang Saya

Saya adalah seorang pengembara dalam hidup ini. Ya, mereka masih memanggil saya bocah. Tapi saya lebih baik menjadi seorang anak kecil yang naif dan polos daripada harus tumbuh menjadi orang dewasa yang hidup dalam dunia kemunafikan. Tidak setuju? Maaf, kita semua tahu apa yang ada di luar sana. Setiap orang tak pernah menunjukkan tampang aslinya. Kedok selalu digunakan dan diganti-ganti sesuai dengan kemunafikan. Di depan atasannya, orang itu akan menjadi sosok budak yang patuh pada seluruh perintah majikannya dan bagaikan anjing, menjilat-jilat kaki atasannya. Sementara dengan bawahan, orang itu akan mengganti kedoknya menjadi seorang tokoh antagonis yang bertindak semena-mena. "gua bos nya disini, lu ga bisa ngelawan gua." kata-kata itu pasti sering muncul di pikiran anda, baik anda sadari atau pun tidak. Tidak percaya? Introspeksi diri! Maaf tapi memang, dunia sudah terlalu laknat dan penuh dengan kemunafikan.
Saya hanyalah sebuah titik di Bumi ini. Saya bukan Steve Jobs, Bill Gates, ataupun Sri Mulyani. Bagi mereka, saya hanyalah seonggok daging bernyawa yang hidup untuk memenuhi celah di dunia ini. Maaf, saya begitu pesimis, tetapi begitulah cara saya memandang dunia. Saya selalu bercita-cita, kelak saya akan menjadi yang nomor satu. Mimpi saya hanyalah satu yaitu ketika nanti saya harus pergi meninggalkan dunia ini, saya meninggalkan sejuta manfaat bagi seluruh orang di dunia ini tanpa harus memandang suku, agama, ras dan golongan. Kita semua adalah sama. Ketika suatu hari nanti Lucifer bersama seluruh pasukannya datang untuk menjemput kita semua di dunia ini, yang tersisa dari kita hanyalah tulang belulang. Apa yang membedakan aku dan kamu?
Begitulah persepsi saya sebagai orang awam yang berdiri dari sisi bumi memandangi suramnya kehidupan di dunia ini. Selain hal itu, saya suka mengkritisi semua hal melalui puisi karya saya asli. Karnea menurut saya, melalui untaian baris demi baris puisi lah kita dapat mengekspresikan seluruh rasa yang ada dalam diri kita, tidak terikat ruang, waktu dan UANG. Tidak perlulah identitas saya disebutkan di sini, namun bila anda berkenan dengan tulisan saya. Tidak ada salahnya anda memaknai tulisan dan puisi saya karena percayalah, orang yang mau membuka diri dengan pikiran orang lain akan menjadi orang yang sukses. Amin!


Monday, December 5

Luka Hati

berdiri, sendiri, di sini
terdiam tanpa bunyi
teringat akan sebuah janji
untuk slalu ada di sisi
tak biarkan ku seorang diri

kemanakah ia pergi?
tak meninggalkan jejak kaki
namun meninggalkan cinta yang mati
kosong, hampa, pedih dan yaa... mati

semua kenangan yang begitu indah
tak terlukiskan oleh kata-kata
dahulu selalu membuat bahagia
juga membawa beribu suka

namun bagai pedang bermata dua
sekarang menyayat hati yang lemah
karna tak kuasa menahan rasa
pada dirinya yang tak lagi ada

selangkah kuberanikan diri
untuk maju menyambut hari
berjalan sendiri tanpa peduli
di jalan yang panjang dan sepi
tanpa dia yang dulu di sisi
dan meninggalkan luka hati